Oleh
Rizki Septiyadi Putra
Tidak bisa di
pungkiri lagi bahwa era globalisasi sangatlah merajalela di negara-negara
berkembang di dunia ini. Salah satunya adalah negeri tercinta kita ini,
Indonesia. Globalisasi adalah dimana semua negara di dunia ini dapat
berinteraksi satu dengan yang lain tanpa ada batasan ruang dan waktu.
Globalisasi bisa berdampak positif maupun merugikan bagi suatu negara. Suatu
negara bisa maju pesat apabila mampu memanfaatkan era globalisasi ini untuk
memperkuat kedudukannya di mata dunia. Sebaliknya jika suatu negara tidak mampu
menghadapi tantangan di era global ini, negara tersebut bisa saja hancur
tergerus oleh globalisasi. Indonesia juga mau tidak mau harus siap menghadapi
era globalisasi ini, dan berpartisipasi dalam persaingan global. Jika tidak
siap dengan tantangan yang ada, sudah pasti kita tidak akan pernah bisa menjadi
bangsa yang maju. Apa hubungannya dengan budaya sendiri? Bila saya kutip
pengertian globalisasi dari wikipedia globalisasi adalah keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar
manusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya
populer, dan bentuk-bentuk interaksi
yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit. Ya, budaya populer sangat gampang di
serap oleh masyarakat di seluruh dunia, dengan adanya era globalisasi yang
membuat batas-batas negara semakin sempit. Sehingga budaya salah satu negara
yang sedang populer bisa dapat cepat di gemari oleh negara lain. Ini berdampak
negatif pada kita yang memiliki budaya yang sangat beragam jika kita sudah
tidak memperdulikan kebudayaan sendiri khususnya generasi muda kita yang lebih
suka dengan kebudayaan orang lain dalam hal ini negara orang. Dan membuat lupa
akan kebudayaan sendiri.
Kenapa
generasi muda kita lupa akan bdaya sendiri? Bagaimana cara menyadarkan bahwa
budaya sendiri adalah jati diri negara? Apa saja yang harus kita lakukan
sebagai salah satu generasi penerus bangsa untuk menjaga budaya sendiri?
Bukanya adanya globalisasi kita bisa memperkuat pandangan negara di seluruh
dunia terhadap negara kita semakin kuat? Knapa kita tidak bisa bersaing dengan
negara lain? Kenapa anak muda sekarang lebih tertarik dengan kebudayaan orang?
Terus siapa yang akan mengembangkan kebudayaan kita? Apa kita ingin budaya kita
punah? Bagai mana anak cucu kita mengetahui budaya asli negerinya sendiri? Ini
semua adalah pertanyaan yang harus kita pikirkan. Apakah anda tega dengan apa
yang akan terjadi jika suatu negara melupakan budayanya sendiri dan tidak mampu
bersaing di era globalisasi ini? Hancur! Ya suatu negara akan hancur jika kitak
tidak bisa bersaing di era globalisasi ini. Dan salah satunya adalah budaya.
Sudah
banyak budaya dan alat musik tradisional yang hampir punah dan di lupakan oleh
generasi muda kita. Salah satunya budaya atau alat musik tradisional yang
hampir lupa adalah karinding. Mungkin bagi sebagian orang cukup asing dengan
alat musik tradisional yang terbuat dari bambu dan pelepah kawung satu ini.
Karinding bukan hanya ada di tatar priangan saja melainkan alat musik ini
dikenal pula di Bali bernama genggong, Jawa Tengah menyebutnya rinding,
kemudian Kalimantan menyebutnya karimbi dan beberapa tempat di luar negeri
menamainya dengan zuesharp (harpanya dewa Zues). Dari sisi produksi suara tidak
beda jauh, hanya cara memainkannya saja yang berbeda; ada yang di sentir, ada
yang dipukul atau diketuk, dan ada pula yang ditarik dengan benang. Nah awalnya
karinding dimainkan oleh para petani yang sedang ada disawah. Konon katanya
dengan petani menggunakan atau memainkan karinding, hama yang ada di
pertaniaannya akan pergi karena suara yang di hasilkan karinding tersebut.
Kendala
yang kita hadapi dalam melestarikan salah satu budaya ini adalah ketidak
tertarikan atau kurangnya rasa kecintaan terhadap budaya yang kita miliki.
Banyak orang beranggapan bahwa budaya kita kuno, menurut saya ini sudah menjadi
mental blok pada dirinya sendiri untuk melestarikan budayanya. Kemudian kendala
selanjutnya, kurangnya reaksi pemerintah setidaknya pemerintah setempat untuk
memberdayakan atau melestarikan budaya yang ada di sekitarnya sehingga
masyarakat pun seakan “lupa”. Memang sekarang sangat sangat sulit menemukan
alat tradisional ini apalagi yang memainkannya yang memerlukan kesabaran yang
tinggi. Dan herannya orang luar atau negara lain tahu dan berminat belajar
memainkan alat musik tradisional ini. Apakah kita mau anak cucu kita belajar
kebudayaannya sendiri kepada “orang lain”.
Ini
adalah tantangan untuk kita hai para generasi muda untuk tetap bersaing di era
globalisasi ini. Saya ingat dengan pepatah sunda “tinu awi, ngangkat Nagara”
yang berarti, dari bambu ngangkat derajat Negara, dari salah seorang pelestari
alat musik ini yang biasa di kenal Abah Olot. Itu membuat saya pun berpikir
kalo benar budaya adalah salah satu ciri atau jati diri negara tersebut dan
kenapa kita lupa akan budaya sendiri? Tantangan yang kita hadapi adalah bukan
hanya globalisasi saja tetapi diri kita sendiri. Bagaimana cara melestarikan
semua yang kita punya di negeri tercinta ini. Apa kita hanya diam saja tidak
melestarikan atau mengembangkan kebudayaan sendiri dan bergerak ketika
kebudayaan kita sendiri diambil orang?
Peluang
sangat besar untuk kita melestarikan alat musik tradisional ini. Bahkan
memperkenalkan alat musik ini ke seluruh dunia pun peluangnya besar. Asal kita
cermat dan cerdik memperkenalkan alat musik kita ini keseluruh dunia. Saya
pikir keberagaman kebudayaan kita ini pun mencuri perhatian orang di dunia.
Banyak orang asing yang sengaja bersekolah atau mengenyang pendidikan di
Indonesia dan mereka pun mempelajari kebudayaan kita yang begitu banyak
sehingga membuat peluang kita untuk mengembangkan kebudayaan kita sendiri.
Nah
kesimpulan yang saya dapat adalah, kebudayaan itu sangat penting untuk
suatu negara. Banyak orang yang lupa dan tidak tahu pentingnya menjaga
kebudayaan sendiri seakan kita menghasilkan budaya baru yaitu (budaya)
melupakan budaya sendiri. Solusi yang saya tawarkan yang pertama, pemerintah
bisa lebih memberdayakan atau melestarikan budaya yang ada di sekitarnya
sehingga masyarakat pun berbondong-bondong ikut melestarikan kebudayaannya.
Kedua, dari diri kita sendiri sebagai generasi penerus bangasa lebih mencintai
budaya sendiri, boleh kita menganut budaya orang lain tetapi tidak melupakan
kebudayaan sendiri dan memadukan kebudayaan orang lain dengan budaya
tradisional kita. Ini bagus untuk kita sebagai generasi muda. Ketiga, rajin
memperkenalkan kebudayaan ke masyarakat agar masyarakat yang sudah mulai lupa
akan budaya tersebut bisa membuat atau menimbulkan kembali akan kecintaannya
terhadap budayanya sendiri. Dengan semua itu kita bisa mempertahankan atau
melestarikan kebudayaan kita sendiri. Jika bukan kita yang melestarikannya
siapa lagi?
*
Penulis adalah Mahasiswa Prodi Pendidikan IPS, Universitas Pendidikan Indonesia